Selasa, 10 Oktober 2017

Ini yang terakhir

Hari ini semesta sedang berbaik hati mau mengabulkan doaku untuk dapat melihatmu yang nampak baik-baik saja.
“hai, apa kabar?” terlalu kaku untuk memulai percakapan. Ya sudah lama sekali aku ingin menyapamu. Mengapa kini kita seperti musuh? Padahal sebelumnya kita pernah sedekat nadi. Ah entah. Aneh rasanya. Mengetahui kita berada diruang yang sama namun seperti tak saling mengenal. Hahaha. Aku tertawa dalam hati. Kenapa masing masing dari kita masih saja kalah melawan ego? Kenapa? Apakah susah untuk menyapa duluan? Lagi pula untuk apa seperti ini terus? Dari awal kita memang teman kan?
Yogyakarta, 7 September 2017.

Masih dalam bulan yang sama, kita kembali dipertemukan. Mau tak mau kita harus saling bertegur sapa.
“mau kemana?” tanyamu.
“main, ikut yuk.” Jawabku
“tiati ya” katamu diiringi dengan senyum manismu.
Iya, aku memang masih mencandu senyummu waktu itu.
Dan aku harus menekan debar dalam jantungku, kala aku melihat senyummu waktu itu.
Aku harus menekan perasaan rindu yang ingin ku tumpahkan kepadanya.
Namun, aku tahan.
Yogyakarta, 22 September 2017

Dan kini, telah berganti bulan.
Kita semakin sering bertemu.
Karena kita berada dalam satu event yang sama!
Ada perasaan senang namun juga benci.
Senang karena aku bisa memandangmu lebih lama.
Benci karena kita canggung.
Untuk apa?
Kan teman bukan?

Terimakasih ya!
Aku harus buktikan ke kamu kalau aku bisa!
Maaf, karena masih sering menuliskan tentangmu.
Ini yang terakhir.


Yogyakarta, 10 Oktober 2017

Aku Harus!

“ayo besok sabtu ke pantai!”

“boleh, tapi jangan ke wediombo ya” kataku.

Hari ini sayang, tepat satu bulan yang lalu. Kau mengajakku pergi berdua ke pantai. Kau bilang.

“mana aja deh yang penting sama kamu”

“yakin nih? Yaudah yuk ke wediombo ya aku belum pernah kesana”

Dari Jogja menuju Gunungkidul bukanlah perjalanan yang singkat. Perjalanan akan terasa sangat lama jika kita hanya saling terdiam. Sepanjang perjalanan, kamu tak henti hentinya menyanyikan lagu soundtracknya sincan. Padahal suaramu fales mana salah lirik lagi hahaha. Kamupun bercerita ini dan itu. Aku hanya mendengarnya di belakangmu.

“sayang, kamu udah diajarin pak ****** belum? Jadi to yang, masa kalo di kelas dia itu jawab salah diem juga salah. Kami harus bagaimana?” katamu.

Kamu bercerita dengan aksen batakmu.

Ya!

Dan kini, aku melewati jalan itu lagi. Seolah semuanya berputar kembali.

“Bel! Ih bengong aja, ayoooo kita kan mau refreshing ayoo main air ahh” kata Linda menyadarkanku dari lamunan.

Hari itu, aku duduk terdiam menikmati senja di bibir pantai.
Sambil memejamkan mata, kenangan demi kenangan mulai memutarkan kembali saat-saat aku masih bersamamu.
Rasanya menyenangkan saat masih bersamamu.
Senyummu yang membuatku lupa betapa kejamnya dunia ini.
Tutur katamu yang bisa membuatku berlarut-larut dalam rayuan asmara.
Perangaimu yang membuatku merasa istimewa.
Ah indah betul masa-masa itu.
Dusta jika aku tidak pernah merindukanmu walau sedetik saja.
Tapi inilah yang disebut bahwa dunia itu kejam, karena sekeras apapun aku mencoba membuatmu kembali padaku, sekeras itu pula kamu enggan kembali padaku.

Hahahaha.
Apaan sih, main sama sahabat kok jadi baper gini?
Udah ah.

Dia udah bahagia.
Aku juga harus!



Tahu Diri

Menyenangkan bukan?
Selepas aku bukan lagi bagian darimu kau melenggang bebas, kau begitu akrab dengan pelukan barumu.

Setelah pergimu, aku tak benar-benar hilang.
Aku tetap ada meski kau berusaha menjauhi pandang. Tak masalah itu hakmu. Karena bukan ranahku lagi mengusik apapun hal yang kau lakukan. Aku lebih memilih berada disekitarmu yang tak terlihat namun sibuk memperhatikan.

Ada debar yang harus ku sembunyikan berkali-kali ketika mata kita selalu menuju pandangan yang akan kembali asing.
Ada beribu sapa yang hilang begitu saja sewaktu kita tak sengaja bertemu sedang gelagatmu ingin segera cepat pulang.

Senin, 09 Oktober 2017

Sebenarnya

Sebenarnya,
Aku tak pernah benar-benar melupakanmu,
Aku hanya menghibur diri sendiri agar terlihat baik-baik saja setelah kepergianmu,
Aku hanya ingin membuktikan pada dunia, bahwa tanpa ada kamupun,
Kini aku bisa tetap bahagia.

Namun,
Kini aku tak tahan,
Ku tumpahkan segala rasa rinduku hanya lewat tulisan-tulisan,
Walau sebenarnya,
Aku tahu,
Bahwa kamu tak akan membaca apa yang sudah aku sampaikan.

tolong, aku sekarat

Aku tidak pernah benar-benar bisa merealisasikan makna ikhlas dengan baik.
Manakala jemari ini masih saja menuliskan tentangmu,
Manakala bibir ini masih saja mengeja namamu dengan benar, dan hati yang masih berdebar bila tak sengaja melihat namamu muncul di social mediaku.

Aku pembohong yang ulung,
Dengan segala cara aku pandai menutupi segala yang aku elakkan; merindukanmu, mempedulikanmu, mengkhawatirkanmu, memikirkanmu dan mengharapkanmu.
Bila masih ada yang bertanya , dengan cepat ku jawab tidak, setelahnya hatiku bergetar, merasa sudah dibohongi.
Lagi, lagi dan lagi.